OPINI

Pilkada dan Janji Politik

×

Pilkada dan Janji Politik

Sebarkan artikel ini
Anwar Anas SH
Anwar Anas SH

Oleh:
Anwar Anas SH

Pilkada serentak secara nasional yang merupakan Pilkada pertama serentak setelah hampir 79 tahun Indonesia merdeka, saat ini sedang memasuki tahapan menuju pemungutan suara 27 November yang merupakan puncak penyelenggaraan konstestasi demokrasi Indonesia terbesar setelah Pemilu Presiden/ Wakil Presiden, dan Pemilu Legislatif.

Mencermati tahapan yang disepakati Pemerintah – DPR RI – Penyelenggara, agendanya berjalan dengan baik meskipun diwarnai adanya konflik internal.

Pilkada yang telah memasuki tahapan pendaftaran pasangan calon yang didukung oleh Parpol dan atau gabungan Parpol di KPUD masing-masing tingkatan secara serentak telah terjadwal tanggal 27 – 29 Agustus yang lalu.

Agenda ini membawa dampak meningkatnya eskalasi dan suhu politik berjenjang merata secara nasional berupa dinamika politik berupa penjaringan Parpol, komunikasi elit Parpol, fit and propertest, dan sebagainya yang kesemua kegiatan tersebut hendak membangun sebuah konfigurasi pasangan calon Kepala Daerah (Kada) yang dianggap dapat dan memenuhi syarat untuk didaftarkan untuk mengikuti kontestasi Pilkada pada 38 Provinsi sebagai calon Gubernur, dan 514 Kabupaten/ Kota sebagai calon Bupati atau calon Walikota.

Di antara 11 tahapan pilkada, tahapan kampanye seharusnya menjadi hal yang paling penting bagi rakyat. Melalui kampanye para calon kepala daerah memberitahukan kepada warga masyarakat tentang apa yang akan dilakukannya jika kelak dirinya terpilih.

Bagi rakyat, informasi ini menjadi sangat penting sebagai referensi dalam menentukan pilihan pada hari pencoblosan kelak.

Kenyataannya, sebagian besar rakyat tidak lagi memandang penting kampanye bahkan pilkada itu sendiri karena hal ini dianggap tidak lebih dari sekedar rutinitas lima tahunan belaka yang belum pasti akan memberikan dampak langsung terhadap perbaikan kehidupan mereka.

Terjadinya penurunan secara beruntun partisipasi masyarakat dalam setiap gelaran pilkada di era Reformasi merupakan bukti konkretnya. Bahkan, dalam konteks pilkada, di beberapa daerah jumlah suara golput justru lebih besar daripada suara kemenangan pasangan calon.

Alasan mendasar yang melatarbelakangi munculnya kekecewaan masyarakat tersebut akibat janji pilkada yang tak kunjung pernah menjadi kenyataan. Rakyat mulai sadar dan merasa hanya dibutuhkan suaranya saat pilkada, selanjutnya diabaikan ketika kekuasaan telah tercapai.

Janji kampanye para kontestan pilkada seolah-olah hanya menjadi pemanis bibir semata untuk mengelabui rakyat agar tertarik memilih dirinya padahal dari semula janji tersebut (mungkin) telah direncanakan untuk tidak dipenuhi.

Maka tidak heran bila sebagian besar rakyat menganggap janji politik sangat identik dengan kebohongan. Pilkada di mata rakyat tidak lebih dari sekadar sebuah ajang tempat orang memberikan janji-janji untuk diingkari.

Akibatnya, demokrasi perwakilan di Indonesia saat ini mengalami masalah disconnected electoral yaitu adanya keterputusan relasi antara wakil dengan yang diwakili.

Sehingga seringkali tindakan yang dilakukan oleh para wakil tidak linier dengan apa yang menjadi aspirasi dan keinginan dari orang-orang yang diwakili (publik).

Penyebab munculnya persoalan tersebut selain karena popularitas sebagian kandidat jauh melebihi kemampuannya untuk menjadi politisi yang andal dan negarawan, juga ditopang oleh semakin berkembangnya sikap rasional para pemilih terutama “rasional secara materi”.

Implikasinya, money politics menjadi lebih meluas sehingga perilaku pemilih cenderung mengarah pada munculnya “transaksi material” yang bercorak jangka pendek dan sesaat, bukan pada “transaksi kebijakan” antara para wakil dengan terwakil.

Sebenarnya, ingkar janji dalam politik bukan hanya fenomena khas Indonesia. Di beberapa negara lain pun hal ini juga terjadi.

Penelitian yang dilakukan oleh Susan C. Stokes (2001), seorang guru besar Ilmu Politik Universitas Chicago terhadap 44 kasus pemilihan presiden di 15 Negara Amerika Latin selama kurun waktu 1982-1995 menunjukkan adanya kecenderungan pengingkaran yang cukup tinggi atas janji-janji kampanye.

Ada gejala bahwa para politisi memang berusaha mengambil hati para pemilih ketika berkampanye, tetapi segera setelah mereka terpilih mereka menentukan kebijakan semau mereka tanpa mempedulikan preferensi para pemilihnya.

Namun demikian, banyaknya janji-janji palsu dalam kampanye tidak berarti janji politik menjadi tidak penting. Dalam sebuah negara demokrasi, janji politik adalah hal yang niscaya. Politik tanpa janji adalah politik yang buruk (Paul B. Kleden: 2013).

Setidaknya ada dua arti penting janji politik. Pertama, mencerminkan visi dan misi seorang calon politisi yang akan memberikan arah dan panduan yang jelas bagi dirinya dalam mencapai sasaran yang hendak diraih bila kelak diberi amanah menduduki jabatan publik.

Kedua, janji politik adalah dasar bagi pertanggungjawaban pelaksanaan kekuasaan yang demokratis. Tanpa janji, seorang calon pemimpin akan sangat sulit untuk dinilai berhasil tidaknya atas kepemimpinannya kelak.