UU TPKS menyediakan kebaruan pengertian definisi kekerasan seksual yang lebih rinci, dan konsep mekanisme penanganan serta pelindungan yang lebih kongkrit bagi pemuliaan korban kekerasan seksual.
Selain mengakomodir bentuk-bentuk ke kerasan seksual yang sebelumnya diatur dalam KUHP, Undang-undang Perlindungan Anak, Undang-Undang PKDRT, Undang-undangn ITE serta Pronografi, UU TPKS juga merumuskan 9 (sembilan) jenis tindak pidana kekerasan seksual yang sebelumnya belum diatur yakni, pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, serta kekerasan seksual berbasis elektronik.
Dengan adanya pengaturan yang spesifik mengenai ruang lingkup ini dapat dimaknai bahwa UU TPKS hendak mengkriminalisasi perbuatan-perbuatan yang termasuk ke dalam perbuatan tindak pidana, namun sebelumnya tidak diatur di dalam KUHP maupun undang-undang lain.
Ketentuan yang demikian ini menunjukkan bahwa UU TPKS merupakan wujud hadir pemerintah dalam mengatasi permasalahan kekerasan seksual terhadap perempuan.
Berbeda halnya dengan KUHP yang memandang bahwa kasus kekerasan seksual seperti perkosaan dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma kesusilaan semata.
Padahal pengkategorian yang demikian ini tidak saja akan mengakibatkan pengurangan derajat tindak pidana yang dilakukan, namun juga berpengaruh pada pandangan bahwa kekerasan seksual hanyalah persoalan moralitas saja.
Selanjutnya, UU TPKS juga merubah fokus penanganan perkara yang sebelumnya hanya tertuju kepada penghukuman pelaku, melalui UU TPKS lebih berorientasi pada pemenuhan dan pemulihan hak-hak korban, yaitu diantaranya melalui ganti rugi dan pemulihan.
Sebelum UU TPKS disahkan, pengaturan hukum mengenai hal tersebut tidak diatur secara spesifik.
Namun, setelah UU TPKS ini disahkan, pengaturan mengenai ganti kerugian dan pemulihan terhadap korban kekerasan seksual diatur secara spesifik dalam Pasal 30 sampai 38 UU TPKS dengan menggunakan istilah “restitusi”.
Pasal 30 UU TPKS menyebutkan bahwa “Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual berhak mendapatkan Restitusi dan layanan Pemulihan”.
Dengan demikian, UU TPKS adalah perwujudan hukum yang menjadi instrumen/alat untuk mengarahkan masyarakat menuju pada sasaran yang hendak dicapai yaitu keadilan bagi korban.
UU TPKS juga diharapkan dapat melepaskan perempuan di Indonesia dari budaya patriarki dengan dirumuskannya jenis-jenis kekerasan seksual yang sebelumnya tidak diatur dalam KUHP seperti pemaksaan perkawinan, baik dengan alasan budaya, pemaksaan perkawinan korban hasil kekerasan seksual dengan pelakunya, dan pemaksaan perkawinan terhadap anak sebagai tindak pidana.
Diharapkan pengaturan tesebut dapat mendobrak perbuatan demikian yang sebelumnya dianggap lazim, namun sesungguhnya bertentangan dengan hak asasi manusia dan selayaknya mendapatkan hukuman. Begitu juga dengan kebiasaan masyarakat yang mewajarkan pelecehan seksual non fisik bahkan dengan menyalahkan perilaku korbannya.
Dimana perempuan ditempatkan lebih rendah karena pilihannya dalam berpakaian atau bekerja misalnya dibandingkan dengan pelaku pelecehan itu sendiri.
Seemenjak UU TPKS mengatur mengenai pelecehan seksual non fisik dengan ancaman pidana terhadap pelakunya, terang bahwa pelaku perbuatan tersebut memang sudah selayaknya dihukum dan korban yang harus pendapatkan perlindungan, bukan sebaliknya.
Sumber: Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum”, Alumni, Bandung,1986, hal 110-111