Oleh: DMS. Harby*
TNI dan Polri adalah dua alat Negara. Satu berfungsi di bidang pertahanan dan satunya lagi di bidang keamanan. Negara mempersenjatai keduanya agar dapat menjalankan fungsinya masing-masing secara maksimal. Bahkan, Negara juga mendukung pembiayaan sarana dan prasarana keduanya secara maksimal.
Selain itu, personalia keduanya juga direkrut secara profesional artinya digaji. Berikut dukungan skema pembinaan karier yang berkembang dan berjenjang. Belakangan, penugasan personel keduanya, bahkan, juga merambah ke urusan sipil dan jabatan politik.
Pengembangan karier TNI dan Polri itu ke urusan sipil dan jabatan politik menjadi lumrah kalau memang sejak awal Negara ini berdiri karena TNI dan Polri. Kata lainnya, TNI dan Polri adalah institusi pendiri Negara. Kata lainnya lagi, TNI dan Polri punya saham pada Negara ini.
Masalahnya, TNI dan Polri bukan pendiri Negara. Bahkan keduanya dibentuk oleh rakyat yang kebanyakan justru dipimpin elit mereka yang bukan tentara atau polisi. Mereka ini ada yang tuanku, tuangku, buya, ajengan, kiai atau tuan guru.
Mereka di atas ini justru yang memimpin rakyat membentuk laskar atau pasukan tentara atau polisi yang belakangan menjelma menjadi TNI dan Polri. Bahkan, tak jarang, mereka ini yang langsung menjadi tentara atau polisi karena panggilan jihad untuk mendirikan dan membela Negara ini.
Bahkan, ada dari mereka ini yang sampai wafat pun masih berstatus tentara atau polisi aktif. Meskipun mereka sudah lama meninggalkan medan perjuangan atau pertempuran sebab misinya telah selesai. Mereka kembali ke dayah, meunasah, madrasah, pesantren atau surau. Tempat mereka berjuang sebelumnya. Guna meneruskan pengabdian.